Tak Lagi Angan Semata, Kini Harapan Milenial Untuk Punya Rumah Sendiri Terbuka Lebar

Semua orang pasti setuju kalau mempunyai rumah sendiri atau hunian yang layak pasti jadi impian hampir semua orang. Yap, rumah nyaman yang ditinggali bersama orang-orang tersayang dengan segala ceritanya. Rumah tempat kita pulang saat peluh dan lelah usai beraktivitas di luar seharian.

Sayangnya, tinggal dirumah yang nyaman tak bisa kami rasakan dulu. Keluargaku bukan berasal dari golongan yang berada dari sisi ekonomi. Bapak ibu yang hanya mendapat penghasilan dari hasil buka warung nasi tak punya cukup tabungan. Asal bisa setiap hari makan, sekolahkan anak dan bayar cicilan motor bebek perbulannya saja bagi kami sudah Alhamdulillah.

Punya rumah yang mewah hampir tak pernah terbayang dipikiran kami. Hmm iya, nggak pernah terpikir sampai sana seingatku. Boro-boro, impian kami saat itu hanya ingin punya rumah yang berdinding batu bata dan semen. Iya, terdengar sederhana ya? tapi buat kami hal sesederhana itu saja teramat susah buat diwujudkan. Terlebih ibu dan bapak punya 3 tanggungan anak.

Ya, rumah kami berdinding anyaman bambu (bilik bambu) yang kian tahun kian rapuh dan gampang berlubang. Meski orang kadang melihat kami dengan pandangan penuh kasihan atau malah pandangan meremehkan, jujur aku sendiri tak pernah menjadikannya beban pikiran atau sakit hati mengingat usia masih terlalu muda.

Paling yang kadang masih teringat adalah susahnya dulu karena aku masih sekolah, namun belajar di rumah jauh dari nyaman karena satu dan lain hal. Misalnya saja saat hujan turun dengan derasnya. Atap kami yang masih terbuat dari “seng” menimbulkan suara yang amat berisik. Belum lagi bocor disana sini dan dinginnya ruangan rumah karena anginnya.

Namun, yang paling bikin sakit dan kecewa adalah ketika kami (aku dan kakak) sudah mulai dewasa, pergi merantau, tidur di kamar kost yang nyaman berdinding tembok, tapi orang tua kami masih harus kedinginan dan kepanasan tinggal di gubuk kecil kami di desa. Memikirkan hal ini sangat bikin kami sedih.

Kami pun punya tekad yang sama untuk bisa membuat ibu dan bapak bisa istirahat di rumah dengan nyaman di masa tua mereka. Alhamdulillah setelah sepuluh tahunan merantau dan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, kami (aku dan kakak) bisa membangunkan rumah yang lebih layak untuk bapak dan ibu di atas tanah kakek (ayahnya ibu). Iya, gubuk kecil kami yang dulu masih berdiri di atas tanah saudara.

Kondisi kami (aku dan kakak) saat itu masih belum memenuhi syarat untuk ambil KPR. Selain itu juga, karena ada tanah dari kakek di desa, jadi kami pilih bangun di sana saja. Proses bangun rumah sampai selesai pun cukup panjang yaitu sekitar 2 tahun.

Iya, terbilang sangat lama karena kami beli bahan materialnya pelan-pelan. Artinya, saat ada uang kami langsung belikan material-material nya satu persatu mulai dari batu bata, lanjut seme, keramik, dan seterusnya. Saat ada uang lagi kami bangun pondasinya dulu, baru menyusul bangun ke atas saat ada rejeki lagi. Alhamdulillah setelah masa panjang pembangunan itu. Kini ibu dan bapak bisa tidur di kamar yang hangat dan nyaman di desa.

Tak Lagi Angan Semata, Kini Harapan Milenial Untuk Punya Rumah Sendiri Terbuka Lebar

Kesadaran Akan Kebutuhan Rumah yang Layak Pada Generasi Milenial

Cerita di atas adalah sedikit kisah perjualan kami untuk bisa dapat rumah tinggal yang layak di desa. Tapi perjuanganku belum selesai. Masih ada impian untuk bisa punya rumah sendiri di kota? Iya, Surabaya.

Kebayang berapa tingginya harga rumah disini. Apalagi aku masih jadi karyawan swasta biasa. Nggak cukup rasanya kalau beli rumah di kota cuma pakai gaji bulanan. Apalagi biaya hidup di sini juga cukup tinggi.

Karena alasan ini juga aku sekarang lumayan rajin cari uang tambahan dari dunia digital. Yap, menjadi blogger dan content writer sedikit banyak bisa menambah saldo tabunganku sedikit demi sedikit.

Lalu bagaimana dengan para generasi millenial di luar sana? Apa masih nyaman ngontrak atau nge kost? Atau masih menikmati berada di zona nyaman dengan tinggal di rumah orang tua?

Aku pernah baca artikel dari tirto.id yang dipublikasikan pertengahan 2019 lalu. Tertulis di sana bahwa Bank Indonesia mencatat usia milenial yaitu mereka yang berusia sekitar 26-35 tahun atau kelahiran antara 1980-1990-an merupakan generasi yang mendominasi dalam pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Sayangnya, sekian angka yang masuk ini hanya baru sekitar 40% saja dari total jumlah milenial yang ada di Indonesia. Artinya masih ada sekitar 60% yang belum terpikir, nggak tertarik atau belum mampu untuk mengajukan KPR. Waw banyak yaa selisihnya!

Penyebab Orang Indonesia Khususnya Milenial Sulit Punya Rumah Sendiri

Tentu ada banyak alasan kenapa milenial belum punya rumah atau belum bisa ambil KPR. Dan fakta ini dibenarkan juga oleh Kompas yang pernah melakukan riset pada tahun 2017. Riset tersebut menyatakan bahwa lebih dari 61% WNI khususnya milenial belum punya rumah sendiri, beberapa penyebabnya adalah:

1. Penghasilan atau Daya Beli yang Rendah

Susahnya cari kerja atau upah yang terbilang masih kecil kurang bisa mencukupi hidup milenial yang ingin punya rumah. Yap, tak semua usaha atau perusahaan bisa menggaji tinggi para karyawan atau pegawai mudanya. Karena itu, milenial yang penghasilan lebih tinggi harus memiliki skill yang bisa dijual dan bisa menaikan value dari dirinya sendiri di mata pemberi kerja.

2. Kondisi Finansial dan Managemen Keuangan Pribadi

Ada juga yang penghasilan sebenarnya sudah cukup untuk ditabung setiap bulannya, tapi nyatanya uangnya menguap entah kemana. Sering kali ada pengeluaran yang nominalnya terbilang kecil tapi rutin.

Masalah utamanya adalah banyak milenial yang nggak bisa bikin skala prioritas dan budgeting. Jadi penghasilan berapapun kadang bingung sudah terpakai untuk apa saja. Mengatur keuangan pribadi masih sering disepelekan atau dianggap nggak terlalu penting atau malah buang-buang waktu.

Milenial juga dianggap sebagai generasi yang kondisi keuangannya belum stabil. Selain masih susah me-manage keuangan pribadi, penghasilan dan pengeluaran milenial juga bisa dibilang masih fluktuatif atau berubah-ubah. Sedangkan untuk memutuskan KPR minimal penghasian dan pengeluaran harus stabil karena adanya kewajiban bayar cicilan setiap bulannya.

3. Gaya Hidup yang Boros

Meski tak semuanya, tapi milenial memang dikenal dengan generasi yang cukup boros dan konsumtif untuk hal-hal yang tak terlalu penting. Gaya hidup yang masih sering nongkrong ke cafe-cafe membuat uang para milenial susah terkumpul. Dilansir dari tirto.id, hasil survey di 17 kabupaten dan atau kota, generasi milenial bisa menghabislam lebih dari 50% pengeluarannya untuk konsumtif, bukan untuk investasi dan sebagainya.

Dikutip dari ekonomy.okezone.com, data dari IDN Research Institute yang dirilis dalam Indonesia Millenial Report 2019 menyatakan bahwa hanya 35,1% milenial yang sudah memiliki rumah. Sisanya hanya berangan-angan saja. Kembali lagi ke perihal managemen keuangan yang masih sering diabaikan.

4. Harga Rumah yang Kian Mahal

Harga properti termasuk rumah kini makin mahal. Banyak yang sebenarnya sudah menyadari akan hal ini. Semakin ditunda untuk beli berarti sudah siap pula untuk menghadapi harga rumah yang makin tinggi. Atau pilihan lainnya mencari rumah yang jauh dari kota agar bisa dapat rumah yang harganya lebih terjangkau. Atau kalau mau solusi lain bisa memilih hunian apartmen. Inipun masih terbilang mahal lho.

Terlebih lagi jika kenaikan harga rumah tiap tahunnya tak sebanding dengan kenaikan gaji atau penghasilan para milenial. Impian punya rumah sendiri bisa jadi benar hanya bisa diangan-angan saja.

Tak Lagi Angan Semata, Kini Harapan Milenial Untuk Punya Rumah Sendiri Terbuka Lebar Berkat Program Sejuta Rumah dari PUPR

Sebagai salah satu milenial yang punya mimpi untuk bisa mempunyai rumah sendiri, jujur aku berbahagia karena pemerintah dan banyak pihak terkait yang menyadari bahwa masalah yang potensial muncul bagi milenial salah satunya adalah masalah tempat tinggal.

Yap, milenial yang masih berpenghasilan pas-pasan juga berhak memiliki tempat tinggal yang layak dan mengakhiri masa sebagai anak kost atau anak kontrakan. Angin segar pun telah ditiupkan oleh Pak Jokowi menargetkan Program Sejuta Rumah sejak 2015. Bersama banyak pihak yang mendukung program ini mulai dari pengembang sampai perbankan, program ini pun sukses dijalankan dan terbukti bisa jadi solusi masyarakat memiliki hunian murah.

data realiasi PUPR

Dari 2015-2019 tercatat telah terbangun 4.800.170 unit rumah dengan target 75% untuk MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) dan 25% non MBR. Dari total target 5 juta rumah tentu angka tersebut sudah terbilang berhasil karena hanya kurang 4% dari target atau sudah terpenuhi sekitar 96%.

Karena keberhasilan itulah, pemerintah beranggapan Program Sejuta Rumah masih relevan dan layak dilanjutkan hingga akhir periode 2024 mengingat kebutuhan rumah juga makin tinggi. Sampai 2020 ini, pemerintah masih terus getol dan melanjutkan Program Sejuta Rumah yang pastinya diniatkan untuk kepentingan masyarakat dengan target 70% untuk MBR san sisanya untuk non MBR. Kerjasama berbagai pihak mulai dri pemerintah, pengembang dan masyarakat tentu akan menentukan keberhasilan akan program ini lagi.

Selain sejuta rumah, tahun ini pemerintah juga terus berusaha menekan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) guna menghambat penyebaran virus corona seperti sekarang ini. PUPR melalui program BSPS atau Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya mengalokasikan dana sebersar Rp4,35T untuk meningkatkan kualitas 208.000 unit RTLH dan membangun setidaknya 12.000 unit RLTH dengan kisaran biasa Rp459M. Program ini berjalan dengan skema PKT atau Padat Karya Tunai guna mengurangi dampak COVID-19 terhadap perekonomian masyarakat.

Guna menekan RLTH pula pemerintah memberikan bantuan stimulan PSU yaitu stimulan bagi para pelaku pembangunan rumah MBR untuk mendukung program satu juta rumah dari pemerintah. Dengan bantuan stimulan PSU ini pengembang bisa membangun rumah dengan harga lebih murah namun tetap bisa memberikan hunian yang layak karena adanya bantuan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) seperti jalan lingkungan, saluran air bersih, tempat pembuangan sampah dan sebagainya.

**

Dengan adanya berbagai program dari pemerintah terkait rumah tinggal dan hunian yang layak dengan usaha menekan harga hingga subsidi yang diberikan bukan tidak mungkin para milenial atau para masyarakat dengan penghasilan pas-pas an bisa memiliki rumah impian yang setidaknya nyaman ditinggali bersama keluarga tersayang. Kebahagiaan masyarakat tentu jadi kebahagiaan bangsa, negara dan pemerintah sendiri. Terimakasih pemerintah dan PUPR, harapan dan impian kami memiliki rumah bisa jadi kenyataan 🙂

 

Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Artikel yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR dalam rangka memperingati Hari Perumahan Nasional 2020.

 

Referensi:

  1. Mumpung masih muda kalo udah ada tabungan emang enaknya dialokasikan untuk beli hunian kak, karena harganya yang terus naik jadi udah pasti untung deh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

More like this

Tips Memilih Waterproofing yang Tepat

Perhatikan 3 Tips Memilih Waterproofing yang Tepat

Ada banyak hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan pembangunan, salah satunya memastikan bahwa bangunan Anda terlindungi dari...
Manfaat Penggunaan ACP Aluminium

Inilah Manfaat Penggunaan ACP Aluminium

Aluminium Composite Panel (ACP) adalah bahan yang semakin populer dalam industri konstruksi dan desain interior. Jenis aluminium ini...
KPR Rumah Second Tanpa DP

Bisakah KPR Rumah Second Tanpa DP? Cek Caranya

Impian memiliki rumah bisa lebih mudah dengan menggunakan KPR. Ternyata bukan hanya rumah baru, Anda bisa juga...
Total
0
Share